بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Bismillahirrahmanirrahim
"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang"
- Nama kitab: Terjemah Kitab Fathul Qorib (Fath Al-Qarib)
- Syarh dari: Kitab Matan Taqrib Abu Syujak
- Judul kitab asal: Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Alfazh Al-Taqrib atau Al-Qawl Al-Mukhtar fi Syarh Ghayatil Ikhtishar
- Pengarang: Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi ibn Al-Gharabili Abu Abdillah Syamsuddin
- Bidang studi: Fiqih madzhab Syafi'i
(فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب أو القول المختار في شرح غاية الإختصا)
قال المصنف رحمه الله تعالى ونفعنا به وبعلومه في الدارين أمين
Hukum-hukum asy syuf’ah.
(فَصْلٌ فِيْ أَحْكَامِ الشُّفْعَةِ
(Fasal) menjelaskan hukum-hukum asy syuf’ah.
وَهِيَ بِسُكُوْنِ الْفَاءِ وَبَعْضُ الْفُقَهَاءِ يَضُمُّهَا وَمَعْنَاهَا لُغَةً الضَّمُّ
Lafadz “asy syuf’ah” itu dengan terbaca sukun huruf fa’nya. Sebagian ahli fiqh membaca dlammah huruf fa’nya. Makna asy syuf’ah secara bahasa adalah mengumpulkan.
وَشَرْعًا حَقُّ تَمَلُّكٍ قَهْرِيٍّ يَثْبُتُ لِلشَّرِيْكِ الْقَدِيْمِ عَلَى الشَّرِيْكِ الْحَادِثِ بِسَبَبِ الشِّرْكَةِ بِالْعِوَضِ الَّذِيْ مُلِكَ بِهِ
Dan secara syara’ adalah hak untuk memiliki secara paksa yang ditetapkan bagi syarik yang lebih dulu atas syarik yang masih baru sebab adanya syirkah dengan mengganti sesuai dengan kadar barang yang digunakan -syarik hadits- untuk memiliki.
وَشُرِعَتْ لِدَفْعِ الضَّرَرِ
Asy syuf’ah disyareatkan untuk mencegah kesulitan.
Hukum Syuf’ah
(وَالشُّفْعَةُ وَاجِبَةٌ) أَيْ ثَابِتَةٌ لِلشَّرِيْكِ (بِالْخُلْطَةِ) أَيْ خُلْطَةِ الشُّيُوْعِ (دُوْنَ) خُلْطَةِ (الْجِوَارِ)
Asy syuf’ah hukumnya wajib, maksudnya tetap bagi syarik disebabkan oleh percampuran, maksudnya percampuran yang menyeluruh (khulthah asy syuyu’), bukan percampuran yang dibatasi (khulthah al jiwar).
فَلَا شُفْعَةَ لِجَارِ الدَّارِ مُلَاصِقًا كَانَ أَوْ غَيْرَهُ
Sehingga tidak ada hak syuf’ah bagi tetangga rumah, baik yang dempet atau tidak.
Syarat Syuf’ah
وَإِنَّمَا تَثْبُتُ الشُّفْعَةُ (فِيْمَا يَنْقَسِمُ) أَيْ يَقْبَلُ الْقِسْمَةَ
Asy syuf’ah hanya berlaku dalam urusan barang-barang yang bisa terbagi, maksudnya menerima untuk dibagi.
(دُوْنَ مَا لَا يَنْقَسِمُ) كَحَمَامٍ صَغِيْرٍ فَلَا شُفْعَةَ فِيْهِ
Bukan barang-barang yang tidak bisa terbagi seperti kamar mandi kecil, maka tidak berlaku syuf’ah pada barang ini.
فَإِنْ أَمْكَنَ انْقِسَامُهُ كَحَمَامٍ كَبِيْرٍ يُمْكِنُ جَعْلُهُ حَمَامَيْنِ ثَبَتَتِ الشُّفْعَةُ فِيْهِ
Jika bisa dibagi seperti kamar mandi besar yang memungkinkan untuk dijadikan dua kamar mandi, maka syuf’ah berlaku pada barang tersebut.
(وَ) الشُّفْعَةُ ثَابِتَةٌ أَيْضًا (فِيْ كُلِّ مَا لَا يُنْقَلُ مِنَ الْأَرْضِ) غَيْرِ الْمَوْقُوْفَةِ وَالْمُحْتَكَرَةِ (كَالْعَقَارِ وَغَيْرِهِ) مِنَ الْبِنَاءِ وَالشَّجَرِ تَبْعًا لِلْأَرْضِ
Syuf’ah juga berlaku pada setiap barang yang tidak berpindah dari tanah yang bukan berupa barang wakafan dan barang sewaan seperti kebun dan lainnya yang berupa bangunan dan pohon, karena mengikut pada tanahnya.
Proses Syuf’ah
وَإِنَّمَا يَأْخُذُ الشَّفِيْعُ شِقْصَ الْعَقَارِ (بِالثَّمَنِ الَّذِيْ وَقَعَ عَلَيْهِ الْبَيْعُ)
Asy syafi’ (orang yang melakukan syuf’ah) hanya boleh mengambil bagian dari kebun dengan tsaman yang digunakan untuk membelinya.
فَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ مِثْلِيًّا كَحَبٍّ وَنَقْدٍ أَخَذَهُ بِمِثْلِهِ
Jika tsaman-nya berupa mitsli seperti biji-bijian dan mata uang, maka ia harus mengambil bagian tersebut dengan sesamanya tsaman tersebut.
أَوْ مُتَقَوَّمًا كَعَبْدٍ وَثَوْبٍ أَخَذَهُ بِقِيْمَتِهِ يَوْمَ الْبَيْعِ
Atau berupa barang yang memiliki harga seperti budak dan pakaian, maka ia mengambilnya dengan harga barang tersebut saat terjadinya akad jual beli.
Konsekwensi Syuf’ah
(وَهِيَ) أَيِ الشُّفْعَةُ بِمَعْنَى طَلَبِهَا (عَلَى الْفَوْرِ)
Syuf’ah, maksudnya syuf’ah dengan arti mengambilnya, adalah harus segera.
وَحِيْنَئِذٍ فَلْيُبَادِرِ الشَّفِيْعُ إِذَا عَلِمَ بَيْعَ الشِّقْصِ بِأَخْذِهِ
Kalau demikian, maka syafi’ harus segera mengambilnya ketika ia telah tahu akan penjualan bagian tersebut.
وَالْمُبَادَرَةُ فِيْ طَلَبِ الشُّفْعَةِ عَلَى الْعَادَةِ
Yang dimaksud segera di dalam mengambil syuf’ah adalah sesuai dengan ukuran adat / kebiasaan.
فَلَا يُكَلَّفُ الْإِسْرَاعُ عَلَى خِلَافِ عَادَتِهِ بِعَدْوٍ أَوْ غَيْرِهِ
Sehingga ia tidak dituntut bergegas yang melebihi ukuran kebiasaan yaitu dengan berlari atau selainnya.
بَلِ الْضَابِطُ فِيْ ذَلِكَ أَنَّ مَا عُدَّ تَوَانِيًّا فِيْ طَلَبِ الشُّفْعَةِ أَسْقَطَهَا وَإِلَّا فَلاَ.
Bahkan batasan dalam semua itu adalah sikap yang dianggap menundah-nundah di dalam mengambil syuf’ah, maka bisa menggugurkannya. Jika tidak, maka tidak sampai menggugurkannya.
(فَإِنْ أَخَّرَهَا) أَيِ الشُّفْعَةَ (مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهَا بَطَلَتْ)
Sehingga, jika ia menunda melakukan syuf’ah padahal mampu untuk segera melakukannya, maka hak syuf’ah baginya telah batal.
وَلَوْ كَانَ مُرِيْدُ الشُّفْعَةِ مَرِيْضًا أَوْ غَائِبًا عَنْ بَلَدِ الْمُشْتَرِيْ أَوْ مَحْبُوْسًا أَوْ خَائِفًا مِنْ عَدُوٍّ فَلْيُوَكِّلْ إِنْ قَدَرَ وَإِلَّا فَلْيُشْهِدْ عَلَى الطَّلَبِ
Seandainya orang yang menghendaki syuf’ah tersebut sedang sakit, tidak berada di daerah orang yang membeli, dipenjara, atau takut terhadap musuhnya, maka hendaknya ia mewakilkan pada orang lain jika memang mampu. Namun jika tidak mampu, maka hendaknya ia membuat saksi bahwa dirinya ingin mengambil syuf’ah tersebut.
فَإِنْ تَرَكَ الْمَقْدُوْرَ عَلَيْهِ مِنَ التَّوْكِيْلِ أَوِ الْإِشْهَادِ بَطَلَ حَقُّهُ فِي الْأَظْهَرِ
Sehingga, jika ia tidak melakukan apa yang mampu ia lakukan baik mewakilkan atau membuat saksi, maka haknya menjadi batal menurut pendapat al adlhar.
وَلَوْ قَالَ الشَّفِيْعُ لَمْ أَعْلَمْ إِنَّ حَقَّ الشُّفْعَةِ عَلَى الْفَوْرِ وَكَانَ مِمَّنْ يَخْفَى عَلَيْهِ ذَلِكَ صُدِّقَ بِيَمِيْنِهِ
Seandainya syafi’ berkata, “aku tidak tahu kalau sesungguhnya hak syuf’ah itu harus segera dilakukan”, dan ia memang termasuk dari orang yang kurang mengerti tentang semua itu, maka ia dibenarkan disertai dengan sumpahnya.
(وَإِذَا تَزَوَّجَ) شَخْصٌ (امْرَأَةً عَلَى شِقْصٍ أَخَذَهُ) أَيْ أَخَذَ (الشَّفِيْعُ) الشِّقْصَ (بِمَهْرِ الْمِثْلِ) لِتِلْكَ الْمَرْأَةِ
Ketika seseorang menikahi seorang wanita dengan mas kawin berupa siqsh (bagian), maka syafi’ berhak mengambil bagian tersebut dengan mengganti mahar mitsil pada wanita tersebut.
(وَإِنْ كَانَ الشُّفَعَاءُ جَمَاعَةً اسْتَحَقُّوْهَا) أَيِ الشُّفَعَاءُ (عَلَى قَدْرِ) حِصَصِهِمْ مِنَ (الْأَمْلَاكِ)
Ketika syafi’nya lebih dari satu orang, maka mereka berhak atas syuf’ah tersebut sesuai dengan ukuran bagian-bagian mereka dari barang-barang yang dimiliki tersebut.
فَلَوْ كَانَ لِأَحَدِهِمْ نِصْفُ عَقَارٍ وَلِلْآخَرِ ثُلُثُهُ وَلِلْآخَرِ سُدُسُهُ فَبَاعَ صَاحِبُ النِّصْفِ حِصَّتَهُ أَخَذَهَا الْآخَرَانِ اَثْلَاثًا
Sehingga, seandainya salah satu dari mereka memiliki separuh dari kebun -yang disyirkahi-, yang satunya memiliki sepertiganya, dan yang lain lagi memiliki seperenamnya, kemudian orang yang memiliki separuh menjual bagiannya, maka dua orang yang lainnya berhak mengambil dengan dibagi sepertigaan.
Posting Komentar