(فَصْلٌ وَشَرَائِطُ وُجُوْبِ الْجُمُعَةِ سَبْعَةُ أَشْيَاءَ
(Fasal) syarat-syarat wajib melaksanakan sholat Jum’at ada tujuh perkara.
الْإِسْلَامُ وَالْبُلُوْغُ وَالْعَقْلُ) وَهَذَهِ شُرُوْطٌ أَيْضًا لِغَيْرِ الْجُمُعَةِ مِنَ الصَّلَوَاتِ
Yaitu Islam, baligh dan berakal. Ini juga syarat-syarat kewajiban melakukan sholat-sholat selain sholat Jum’at.
(وَالْحُرِيَّةُ وَالذُّكُوْرِيَّةُ وَالصِّحَةُ وَالْاِسْتِيْطَانُ)
Merdeka, laki-laki, sehat dan bertempat tinggal tetap.
فَلَا تَجِبُ الْجُمُعَةُ عَلَى كَافِرٍ أَصْلِيٍّ وَصَبِيٍّ وَمَجْنُوْنٍ وَرَقِيْقٍ وَأُنْثًى وَمَرِيْضٍ وَنَحْوِهِ وَمُسَافِرٍ
Maka sholat Jum’at tidak wajib bagi orang kafir asli, anak kecil, orang gila, budak, wanita, orang sakit dan sesamanya, dan seorang musafir.
Syarat Sah Jum’at
(وَشَرَائِطُ) صِحَّةِ (فِعْلِهَا ثَلَاثَةٌ)
Dan syarat-syarat sah pelaksanaan sholat Jum’at ada tiga.
الْأَوَّلُ دَارُ الْإِقَامَةِ الَّتِيْ يَسْتَوْطِنُهَا الْعَدَدُ الْمُجْمِعُوْنَ سَوَاءٌ فِيْ ذَلِكَ الْمُدُنُ وَالْقُرَى الَّتِيْ تُتَّخَذُ وَطَنًا
Pertama, tempat tinggal yang dihuni oleh sejumlah orang yang melakukan sholat Jum’at, baik berupa kota ataupun pedesaan yang dijadikan tempat tinggal tetap.
وَعَبَّرَ الْمُصَنِّفُ عَنْ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ (أَنْ تَكُوْنَ الْبَلَدُ مِصْرًا) كَانَتِ الْبَلَدُ (أَوْ قَرْيَةً
Hal itu diungkapkan oleh mushannif dengan perkataan beliau, “daerah tersebut adalah kota ataupun desa.”
وَ) الثَّانِيْ (أَنْ يَكُوْنَ الْعَدَدُ) فِيْ جَمَاعَةِ الْجُمُعَةِ (أَرْبَعِيْنَ) رَجُلًا (مِنْ أَهْلِ الْجُمُعَةِ)
Kedua, jumlah jamaah sholat Jum’at mencapai empat puluh orang laki-laki dari golongan ahli Jum’at.
وَهُمُ الْمُكَلَّفُوْنَ الذُّكُوْرُ الْأَحْرَارُ الْمُسْتَوْطِنُوْنَ بِحَيْثُ لَا يَظْعَنُوْنَ عَمَّا اسْتَوْطَنُوْهُ شِتَّاءً وَلَا صَيْفًا إِلَّا لِحَاجَةٍ
Mereka adalah orang-orang mukallaf laki-laki yang merdeka dan bertempat tinggal tetap, sekira tidak berpindah dari tempat tinggalnya baik di musim dingin atau kemarau kecuali karena hajat.
(وَ) الثَّالِثُ (أَنْ يَكُوْنَ الْوَقْتُ بَاقِيًا) وَهُوَ الظُّهْرُ
Ke tiga, waktu pelaksanaannya masih tersisa, yaitu waktu sholat Dhuhur.
فَيُشْتَرَطُ أَنْ تَقَعَ الْجُمُعَةُ كُلُّهَا فِي الْوَقْتِ
Maka seluruh bagian sholat Jum’at harus terlaksana di dalam waktu.
فَلَوْ ضَاقَ وَقْتُ الظُّهْرِ عَنْهَا بِأَنْ لَمْ يَبْقَ مِنْهُ مَا لَا يَسَعُ الَّذِيْ لَا بُدَّ مِنْهُ فِيْهَا مِنْ خُطْبَتَيْهَا وَرَكْعَتَيْهَا صُلِّيَتْ ظُهْرًا
Sehingga, seandainya waktu sholat Dhuhur mepet, yaitu waktu yang tersisa tidak cukup untuk melaksanakan bagian-bagian wajib di dalam sholat Jum’at yaitu dua khutbah dan dua rakaatnya, maka yang harus dilaksanakan adalah sholat Dhuhur sebagai ganti dari sholat Jum’at tersebut.
(فَإِنْ خَرَجَ الْوَقْتُ أَوْ عُدِمَتِ الشُّرُوْطُ) أَيْ جَمِيْعَ وَقْتِ الظُّهْرِ يَقِيْنًا أَوْ ظَنًّا وَهُمْ فِيْهَا (صُلِّيَتْ ظُهْرًا) بِنَاًء عَلَى مَا فُعِلَ مِنْهَا وَفَاتَتِ الْجُمُعَةُ سَوَاءٌ أَدْرَكُوْا مِنْهَا رَكْعَةً أَمْ لاَ
Jika waktu sholat Dhuhur telah habis, atau syarat-syarat sholat Jum’at tidak terpenuhi, maksudnya selama waktu Dhuhur baik secara yaqin atau dugaan saja, dan para jama’ah dalam keadaan melaksanakan sholat Jum’at, maka yang dilakukan adalah sholat Dhuhur dengan meneruskan apa yang telah dilaksanakan dari sholat Jum’at, dan sholat Jum’at tersebut dianggap keluar baik telah melakukan satu rakaat darinya ataupu tidak.
وَلَوْ شَكُّوْا فِيْ خُرُوْجِ وَقْتِهَا وَهُمْ فِيْهَا أَتَمُّوْهَا جُمُعَةً عَلَى الصَّحِيْحِ
Seandainya para jama’ah ragu terhadap habisnya waktu dan mereka berada di dalam sholat, maka mereka menyempurnakan sholat tersebut sebagai sholat Jum’at menurut pendapat al Ashah.
Fardlu-Fardlu Sholat Jum’at
(وَفَرَائِضُهَا) وَمِنْهُمْ مَنْ عَبَّرَ عَنْهَا بِالشُّرُوْطِ (ثَلَاثَةٌ)
Fardlu-fardlunya sholat Jum’at ada tiga. Sebagian ulama’ mengungkap-kan dengan bahasa “syarat-syarat”.
أَحَدُهَا وَثَانِيْهَا (خُطْبَتَانِ يَقُوْمُ) الْخَطِيْبُ (فِيْهِمَا وَيَجْلِسُ بَيْنَهُمَا) قَالَ الْمُتَوَلِّيْ بِقَدْرِ الطُّمَأْنِيْنَةِ بَيْنَ السَّجَدَتَيْنِ
Pertama dan kedua adalah dua khutbah yang dilakukan seorang khatib dengan berdiri dan duduk di antara keduanya. Imam al Mutawalli berkata, “yaitu dengan ukuran thuma’ninah di antara dua sujud.”
وَلَوْ عَجَزَ عَنِ الْقِيَامِ وَخَطَبَ قَاعِدًا أَوْ مُضْطَجِعًا صَحَّ وَجَازَ الْاِقْتِدَاءُ بِهِ وَلَوْ مَعَ الْجَهْلِ بَحَالِهِ
Seandainya khatib tidak mampu berdiri dan ia melakukan sholat dengan duduk atau tidur miring, maka hukumnya sah dan diperkenankan mengikutinya walaupun tidak tahu dengan keadaan sang khatib yang sebenarnya.
وَحَيْثُ خَطَبَ قَاعِدًا فَصَلَ بَيْنَ الْخُطْبَتَيْنِ بِسَكْتَةٍ لَا بِاضْطِجَاعٍ
Ketika seorang khatib melaksanakan khutbah dengan cara duduk, maka ia memisah antara kedua khutbah dengan diam sejenak tidak dengan tidur miring.
Rukun-Rukun Khutbah
وَأَرْكَانُ الْخُطْبَتَيْنِ خَمْسَةٌ حَمْدُ اللهِ تَعَالَى ثُمَّ الصَّلَاةُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَفْظُهُمَا مُتَعَيِّنٌ
Rukun-rukun khutbah ada lima, yaitu memuji kepada Allah ta’ala kemudian membaca sholawat untuk baginda Nabi Saw, dan lafadz keduanya telah tertentu.
ثُمَّ الْوَصِيَّةُ بِالتَّقْوَى وَلَا يَتَعَيَّنُ لَفْظُهَا عَلَى الصَّحِيْحِ وَقِرَاءَةُ آيَةٍ فِيْ إِحْدَاهُمَا وَالدُّعَاءُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فِيْ الْخُطْبَةِ الثَّانِيَةِ
Kemudian wasiat taqwa dan lafadznya tidak tertentu menurut qaul al ashah, membaca ayat Al Qur’an di salah satu khutbah dua dan berdo’a untuk orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan di dalam khotbah yang kedua.
Syarat-Syarat Khutbah
وَيُشْتَرَطُ أَنْ يُسْمِعَ الْخَطِيْبُ أَرْكَانُ الْخُطْبَةِ لِأَرْبَعِيْنَ تَنْعَقِدُ بِهِمُ الْجُمُعَةُ
Seorang khatib disyaratkan harus bisa memberikan pendengaran rukun-rukun khutbah kepada empat puluh jama’ah yang bisa meng-esahkan sholat Jum’at.
وَيُشْتَرَطُ الْمُوَالَاةُ بَيْنَ كَلِمَاتِ الْخُطْبَةِ وَبيْنَ الْخُطْبَتَيْنِ
Disyaratkan harus muwallah di antara kalimat-kalimat khutbah dan di antara dua khutbah.
فَلَوْ فَرَقَ بَيْنَ كَلِمَاتِهَا وَلَوْ بِعُذْرٍ بَطَلَتْ
Seandainya khatib memisah antara kalimat-kalimat khutbah walaupun sebab udzur, maka khutbah yang dilakukan menjadi batal.
وَيُشْتَرَطُ فِيْهِمَا سَتْرُ الْعَوْرَةِ وَطَهَارَةُ الْحَدَثِ وَالْخُبْثِ فِيْ ثَوْبٍ وَبَدَنٍ وَمَكَانٍ
Di dalam pelaksanaan kedua khutbah disyaratkan harus menutup aurat, suci dari hadats dan najis pada pakaian, badan dan tempat.
(وَ) الثَّالِثُ مِنْ فَرَائِضِ الْجُمُعَةِ (أَنْ تُصَلَّى) بِضَمِّ أَوَّلِهِ (رَكْعَتَيْنِ فِيْ جَمَاعَةٍ) تَنْعَقِدُ بِهِمُ الْجُمُعَةُ
Yang ke tiga dari fardlu-fardlunya sholat Jum’at adalah sholat Jum’at dilaksanakan dua rakaat oleh sekelompok orang yang bisa meng-esahkan sholat Jum’at. Lafadz “thushalla” dengan dibaca dhammah huruf awalnya.
وَيُشْتَرَطُ وُقُوْعُ هَذِهِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْخُطْبَتَيْنِ بِخِلَافِ صَلَاةِ الْعِيْدِ فَإِنَّهَا قَبْلَ الْخُطْبَتَيْنِ.
Sholat ini disyaratkan terlaksana setelah dua khutbah, berbeda dengan sholat hari raya, karena sesungguhnya sholat hari raya dilaksanakan sebelum dua khutbah.
Kesunahan-KesunahanSholat Jum’atnya
(وَهَيْئَآتُهَا) وَسَبَقَ مَعْنَى الْهَيْئَةِ (أَرْبَعُ خِصَالٍ)
Sunnah-sunnah haiat sholat Jum’at ada empat perkara. Makna haiat telah dijelaskan di depan.
أَحَدُهَا (الْغُسْلُ) لِمَنْ يُرِيْدُ حُضُوْرَهَا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثًى حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ مُقِيْمٍ أَوْ مُسَافِرٍ
Salah satunya adalah mandi bagi orang yang hendak menghadiri sholat Jum’at, baik laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak, orang muqim atau musafir.
وَوَقْتُ غُسْلِهَا مِنَ الْفَجْرِ الثَّانِيْ وَتَقْرِيْبُهُ مِنْ ذِهَابِهِ أفْضَلُ
Waktu pelaksanaan mandi adalah mulai dari terbitnya fajar kedua (fajar shadiq). Dan melakukan mandi saat mendekati berangkat itu lebih afdlal.
فَإِنْ عَجَزَ عَنْ غُسْلِهَا تَيَمَّمَ بِنِيَّةِ الْغُسْلِ لَهَا
Jika tidak mampu untuk mandi, maka sunnah melakukan tayammum dengan niat mandi untuk sholat Jum’at.
(وَ) الثَّانِيْ (تَنْظِيْفُ الْجَسَدِ) بِإِزَالَةِ الرِّيْحِ الْكَرِيْهِ مِنْهُ كَصَنَانٍ فَيَتَعَاطَى مَا يُزِيْلُهُ مِنْ مَرْتَكٍ وَنَحْوِهِ
Yang kedua adalah membersihkan badan dengan menghilangkan bau tak sedap dari badan seperti bau badan, maka sunnah menggunakan barang-barang yang bisa menghilangkannya yaitu tawas dan sesamanya.
(وَ) الثَّالِثُ (لَبْسُ الثِّيَابِ الْبِيْضِ) فَإِنَّهَا أَفْضَلُ الثِّيَابِ
Yang ke tiga adalah mengenakan pakaian berwarna putih, karena sesungguhnya pakaian berwarna putih adalah pakaian yang paling utama.
(وَ) الرَّابِعُ (أَخْذُ الظُّفْرِ) إِنْ طَالَ وَالشَّعْرُ كَذَلِكَ فَيَنْتِفُ إبْطَهُ وَيَقُصُّ شَارِبَهُ وَيَحْلِقُ عَانَتَهُ
Yang ke empat adalah memotong kuku jika panjang, dan memotong rambut begitu juga ketika panjang. Maka sunnah mencabut bulu ketiak, memotong kumis dan mencukur bulu kemaluan.
(وَالطِّيْبُ) بِأَحْسَنِ مَا وَجَدَ مِنْهُ
Dan memakai wangi-wangian dengan wangi-wangian terbaik yang ia temukan.
(وَيُسْتَحَبُّ الْإِنْصَاتُ) وَهُوَ السُّكُوْتُ مَعَ الْإِصْغَاءِ (فِيْ وَقْتِ الْخُطْبَةِ)
Disunnahkan al inshat, yaitu diam seraya mendengarkan, saat khutbah.
وَيُسْتَثْنَى مِنَ الْإِنْصَاتِ أُمُوْرٌ مَذْكُوْرَةٌ فِي الْمُطَوَّلَاتِ مِنْهَا إِنْذَارُ أَعْمَى أَنْ يَقَعَ فِيْ بِئْرٍ وَمَنْ دَبَّ إِلَيْهِ عَقْرَبٌ مَثَلًا
Ada beberapa perkara yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang luas penjelasannya yang dikecualikan dari kesunnahan inshat. Di antaranya adalah memperingatkan orang buta yang akan jatuh ke sumur, dan memperingatkan orang yang hendak disakiti oleh kalajengking semisal.
Sholat Sunnah Saat Khutbah
(وَمَنْ دَخَلَ) الْمَسْجِدَ (وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ ثُمَّ يَجْلِسُ)
Barang siapa masuk masjid saat imam melaksanakan khutbah, maka sunnah baginya untuk melaksanakan sholat sunnah dua rakaat secara cepat kemudian duduk.
وَتَعْبِيْرُ الْمُصَنِّفِ بِدَخَلَ يُفْهِمُ أَنَّ الْحَاضِرَ لَا يُنْشِئُ صَلَاةَ رَكْعَتَيْنِ سَوَاءٌ صَلَّى سُنَّةَ الْجُمُعَةِ أَمْ لاَ
Ungkapan mushannif, “orang yang masuk” memberi pemahaman bahwa sesungguhnya orang yang sudah hadir sejak tadi, maka tidak sunnah melaksanakan sholat dua rakaat, baik sholat sunnah Jum’at atau bukan.
وَلَا يَظْهَرُ مِنْ هَذَا الْمَفْهُوْمِ أَنَّ فِعْلَهَا حَرَامٌ أَوْ مَكْرُوْهٌ
Dari pemahaman ini tidak nampak jelas bahwa sesungguhnya sholat tersebut hukumnya haram ataukah makruh.
لَكِنِ النَّوَوِيُّ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ صَرَّحَ بِالْحُرْمَةِ وَنَقَلَ الْإِجْمَاعَ عَلَيْهَا عَنِ الْمَاوَرْدِيِّ
Akan tetapi di dalam kitab Syarh al Muhadzdzab, imam an Nawawi secara tegas memberi hukum haram, dan beliau mengutip ijma’ atas hal tersebut dari imam al Mawardi.
Posting Komentar